LOKASI KE 1 HULU/TITIK NOL CIBANTEN: Awal Aliran

Siang belum sepenuhnya datang saat langkah kami tiba di Titik Nol Cibanten, hulu sungai yang sunyi namun menyimpan napas panjang peradaban. Bersama Komunitas Sasak Cibanten, saya—sebagai perwakilan dari Prokasih (Program Kali Bersih)—ikut serta dalam observasi budaya di tempat yang dipercaya sebagai awal mula aliran Sungai Cibanten. Di sanalah kami menyimak cerita tentang peran Titik Nol dalam kehidupan masyarakat, yang sejak lama menjadi pusat kegiatan spiritual, termasuk tradisi Rawutan Cai: ritual penyucian diri menjelang Ramadan yang diikuti dengan aksi bersih sungai dan menangkap ikan secara tradisional.

Titik Nol itu sendiri merujuk pada sumber atau hulu dari Sungai Cibanten—sungai penting yang mengalir di Provinsi Banten, Indonesia. Alirannya bermula dari kawasan gunung majeti cibanten, tepatnya di Desa Tanjung Sari Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Tempat ini juga dikenal dengan nama Danau Biru Cibanten, sebuah lokasi yang kini ramai dikunjungi sebagai destinasi wisata pemandian alam. Airnya jernih berkilau, berwarna biru kehijauan, dan terasa dingin saat menyentuh kulit, karena langsung bersumber dari mata air pegunungan. Keindahan alam ini tidak hanya menarik dari sisi visual, tetapi juga menyimpan kesakralan yang diyakini masyarakat sekitar sebagai bagian

dari identitas spiritual dan budaya. Singkatnya, Titik Nol Cibanten bukan hanya awal aliran sungai, tapi juga menjadi awal dari banyak kisah dan pengalaman yang mengalir bersama airnya.

Meski suasana di Titik Nol Cibanten terasa teduh dan asri, lingkungan sekitar masih menyimpan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, ada upaya perbaikan yang terlihat—danau mulai dibenahi, akses jalan diperhalus, dan ruang alamnya terjaga dengan baik

DESTINASI WISATA YANG DEKAT DI TITIK NOL CIBANTEN

  1. Makam Jayasakti Pusernagara: Pengunjung yang datang ke Titik Nol Cibanten juga bisa sekalian berziarah ke makam bersejarah yang terletak di dekat sungai.
  1. Musium golok ciomas dan tempat penempaan golok ciomas

Lokasinya dekat dengan alun-alun ciomas

Dan pada saat kami mengikuti acara sasaka cibanten kami di perkenankan untuk melihat tempat penempaan Sejarah golok ciomas tersebut.

Selain itu masih banyak destinasi wisata lain seperti cibulakan,curug,bukit waruwangi dan menjauh sedikit dari titik nol anda bisa langsung berwisata ke Pantai dan destinasi wisata gunung karang.

 

LOKASI KE 2 TITIK TENGAH SUNGAI CIBANTEN

 

Titik Tengah Sungai cibanten berada di Tengah hiruk pikuknya pemerintahan kota serang.

Masih di hari yang sama, selepas duhur saat matahari mulai perlahan turun, perjalanan kami lanjutkan ke arah kota serang tepatnya di wilayah banten girang, perjalanan menuju lokasi terasa lebih dekat karena tak terasa perjalan sebelumnya yang sangat menguras energi membuat kami sedikit terlelap selama di bis. Lokasi pertama yang dikunjungi adalah Pancuran Mas. Pancuran mas adalah sebuah situs mata air atau pancuran yang dianggap keramat dan memiliki nilai historis tinggi, menurut pemaparan narasumber.  Dalam narasi Islamisasi di Banten situs ini diyakini terkait dengan awal mula penyebaran Islam di wilayah Banten, khususnya saat Kesultanan Banten berkembang pada abad ke-16. Islam masuk ke Banten melalui peran Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan Maulana Hasanuddin (anaknya), yang mendirikan Kesultanan Banten. Pancuran Mas sering dikaitkan dengan proses penyucian diri secara simbolis, terutama oleh para penyebar Islam atau tokoh-tokoh wali, sebelum menyebarkan agama Islam ke pedalaman. Dalam budaya lokal, air dari Pancuran Mas dianggap memiliki nilai spiritual, yang juga digunakan dalam ritual-ritual Islam bercampur adat.

Perjalanan selanjutnya saat matahari sudah mulai terbenam kami melanjutkan ekspedisi ke makam ki mas Jong, dalam cerita lisan menurut kang riko yang merupakan pakar sejarah dan kebudayaan dari balai kebudayaan Provinsi banten menceritakan bahwa tempat ini awalnya merupakan pusat pemerintahan dari kerajaan banten girang yang memiliki raja yaitu prabu pucuk umun.  kemudian datanglah maulana hasanudin yang datang untuk mengislamkan, kerajaan banten girang.  Waktu itu sepakat untuk bertanding adu ayam dengan perjanjian barang siapa yang kalah akan masuk islam. Namun prabu pucuk umun mengingkari perjanjian itu dan melarikan diri ke arah selatan dengan menyerupai burung beo, sampai akhirnya berhenti di sebuah wilayah yang sekarang dinamakan cibeo cerita ini erat kaitannya dengan suku baduy.

 

Meskipun cerita tersebut cukup berkembang dan menjadi cerita lisan yang cukup populer di kalangan masyarakat banten namun belum ada manuscript yang menjelaskan tentang hal tersebut. Karena sejarah banten girang ini memiliki banyak versi, namun sesuatu yang pasti dan sudah terbukti adalah kawasan banten girang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban sebelum berpindah ke banten lama hal itu dapat dilihat dari ditemukan punden berundak yang ada di lokasi tersebut yang lokasinya tidak jauh dari lokasi goa banten girang.

Keesokan harinya terik saat saya dan Hobir memulai perjalanan dari titik kumpul, tepat pukul sembilan. Tujuan kami adalah sebuah bangunan tua yang berdiri anggun tak jauh dari alun-alun kota,sebuah saksi bisu masa lalu yang dulunya menjadi tempat masyarakat berkumpul untuk mendengarkan kabar dari kerajaan. Gedung Juang 45 Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti potongan waktu yang tak ikut bergerak, arsitektur kunonya berdiri kontras di tengah geliat kota modern. Kang Riko, pemandu kami dari Komunitas Sasak Cibanten, menjelaskan dengan penuh semangat tentang detail arsitektur gedung tersebut. Salah satu ciri khasnya adalah jendela karpyak—jendela kayu berbilah yang memungkinkan sinar matahari masuk dengan lembut dan angin sepoy-sepoy berhembus ke dalam ruangan. Menurutnya, jendela ini dulunya sangat membantu para penjajah yang tak terbiasa dengan iklim tropis Indonesia. Selain itu, bentuk atapnya menyerupai rumah joglo, menambah nuansa klasik yang kuat, dan pilar-pilar besar yang menyangga bangunan menjadi simbol keteguhan masa lalu yang masih berdiri hingga kini.

Perjalanan kami berlanjut menuju Gedung Karesidenan, bangunan bergaya kolonial yang menyimpan jejak administratif masa lampau. Namun sayangnya, observasi di tempat ini berjalan singkat. Sebuah acara resmi sedang berlangsung, membuat akses kami terbatas—kami hanya bisa melihat dari kejauhan dan mengamati pilar-pilar tinggi yang menjadi ciri khas gedung-gedung peninggalan penjajahan, tegak kokoh seolah menyimpan bisikan masa lalu. Tak lama kemudian, langkah kaki kami mengarah ke kawasan Kaujon, menyusuri tepian Sungai Cibanten yang mengalir tenang di bawah langit yang berteman baik dengan terik matahari. Tujuan kami adalah Masjid Kuno Kaujon, sebuah bangunan ibadah yang menyatukan banyak cerita dalam diamnya yang bersahaja. Kang Riko kembali memandu kami, kali ini dengan penjelasan penuh detail tentang arsitektur masjid yang unik: atapnya bermotif meru bertingkat seperti gunung suci, dipadu dengan sentuhan budaya Tionghoa yang terlihat dari ujung atap berbentuk ekor burung yang melengkung anggun. Namun satu hal yang benar-benar menarik perhatian kami adalah bagian dalamnya—tepat di depan, di samping tempat imam, berdiri sebuah ornamen berbentuk buah nanas. Bukan hiasan sembarangan, Kang Riko menjelaskan bahwa nanas adalah simbol kehidupan yang harus dijalani dengan proses: berduri di luar, manis di dalam. Seperti hidup itu sendiri.

Namun dari seluruh perjalanan hari itu, yang paling menakjubkan terjadi saat kami menapaki jalur setapak menuju Gua Kaujon—sebuah gua kecil buatan manusia yang dulunya digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam. Terletak di tepi Sungai Cibanten, gua itu tampak sederhana dari luar, namun menyimpan keheningan yang nyaris sakral di dalamnya. Ukurannya hanya cukup untuk satu orang shalat, namun fungsinya besar bagi para nelayan tempo dulu yang menghabiskan waktu memancing di sungai. Jarak ke Masjid Kaujon terlalu jauh, dan mereka tak mungkin meninggalkan pancing begitu saja, maka dibangunlah gua ini—sebuah ruang kecil untuk bersujud tanpa harus jauh dari mata air kehidupan mereka. Puncak kekaguman terjadi saat Hobir mengeluarkan kompas dan mencoba memastikan arah gua tersebut. Dengan napas tertahan kami menunggu, dan benar saja—jarum kompas menunjuk ke arah barat laut, tepat ke arah kiblat. Seolah-olah para leluhur kita dahulu membangun tempat itu dengan bukan hanya keterampilan, tetapi juga rasa.

DESTINAS WISATA YANG DEKAT DI TITIK TENGAH CSUNGAI CIBANTEN

  1. kapal bosok Sebuah bangunan berbentuk perahu besar berdiri megah di Kelurahan Curugmanis, Kecamatan Curug, Kota Serang, Banten. Lokasi tersebut selama ini menjadi salah satu destinasi favorit warga untuk wisata religi. Lokasi yang selama ini dikenal dengan nama Kapal Bosok atau kapal busuk tersebut memiliki struktur yang unik. Mayoritas bagian bangunannya menyerupai bentuk masjid dengan warna cat yang dominan biru dan hijau. Melansir dari kanal YouTube Budak Guha, Kamis (7/4) tujuan pendirian bangunan tersebut untuk menunjang aktivitas keagamaan saat berziarah ke makam sesepuh agama, sekaligus pejuang kemerdekaan bernama Ki Abdullah Angga Derpa.
  2. Makam Kenari, sebuah situs bersejarah yang tenang namun menyimpan jejak penting dalam sejarah Kesultanan Banten. Di tempat ini dimakamkan Sultan Maulana Muhammad, raja keempat Banten dan yang pertama kali mendapat gelar “Sultan” dari Mekah yang kemudian menjadi tonggak kehormatan dalam sistem kerajaan Islam Nusantara. Beliau juga merupakan kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, sosok besar dalam perjuangan melawan penjajahan. Di lokasi ini, pemandu menjelaskan lebih lanjut tentang berbagai jenis nisan yang ada, yang konon mengikuti gaya yang saat itu sedang populer di Aceh—dengan pahatan rumit dan makna simbolik yang dalam.

Rumah budaya kaujon sebuah rumah bersejararah yang terletak di serang banten. Tempat ini sekarang berfungsi sebagai lembaga yang berdedikasi untuk melestarikan dan mengembangkan budaya lokal, khususnya seni dan tradisi masyarakat setempat. yang Menyelenggarakan berbagai program edukasi, pertunjukan seni, serta pelatihan untuk memperkuat identitas budaya.

LOKASI KE 3 TITIK AKHIR/HILI SUNGAI CIBANTEN

Kawasan hilir Sungai Cibanten, termasuk di Kasemen dan Banten Lama.

Seperti biasa, pukul sembilan pagi kami kembali melangkah, meninggalkan titik kumpul untuk menempuh perjalanan yang kali ini terasa lebih singkat dari hari-hari sebelumnya. berhenti di sebuah tempat yang sekilas tampak seperti lahan biasa, namun nyatanya menyimpan sejarah lama: sebuah dermaga tua yang ditemukan oleh tim BPK VIII pada tahun 2015. Kini, tempat itu nyaris ditelan semak dan rerimbun, seperti enggan bicara namun tetap menyimpan cerita tentang air yang pernah mengalir membawa perahu dan aktivitas masyarakat pesisir. Tak jauh dari sana, kami melanjutkan langkah menuju Masjid Kasunyatan,dari kata “kasunyatan” yang berarti kesunyian, mungkin karena tempat ini dahulu menjadi kampung para ulama yang lebih memilih diam dalam ilmu. Tahun pastinya masih jadi perdebatan, namun Kang Riko mengajak kami menelusuri makna dari bentuk fisiknya: atapnya seperti payung terbuka yang menaungi siapa pun yang datang, dengan momolo berbentuk angsa di puncaknya sebagai lambang keanggunan. Di bagian belakang masjid terdapat kolam wudhu, dan lebih dalam lagi, sejarahnya mencatat bahwa pembangunan masjid ini turut dibantu oleh masyarakat Tionghoa Muslim di masa Maulana Hasanuddin.Jejak itu masih tampak pada elemen arsitektur dan keberadaan Masjid Cina tak jauh dari rel. Masjid Kasunyatan bukan hanya tempat ibadah, tapi juga ruang belajar dan perenungan, dijaga oleh jejak para aulia yang dimakamkan di samping bangunan utama. Saat kami menengok ke belakang masjid, tampak Sungai Cibanten yang dulu menjadi urat nadi kehidupan kini berubah fungsi karena arusnya mati, dan tubuhnya dijadikan kandang ternak oleh warga. Seperti air yang diam, ia tak lagi bicara, tapi tetap menyimpan kenangan akan masa ketika kesunyian adalah bagian dari kebesaran.

kami melanjutkan perjalanan ke Keraton Kaibon, yang jaraknya tak begitu jauh namun membawa nuansa yang sama sekali berbeda. Dalam bahasa lokal, “kaibon” berarti tempat bersemayam, bukan hanya sebagai kediaman namun juga pusat pemerintahan. Keraton ini memiliki dua gerbang yang menyambut kami—Gentar dan Paduraksa—yang berdiri kokoh seperti pelindung cerita lama. Yang membuatnya unik, keraton ini dikelilingi oleh aliran sungai, sehingga ada anggapan bahwa bangunannya berdiri di atas sungai, seolah dikelilingi oleh air. Kami kemudian menuju Keraton Surosowan, jantung Kesultanan Banten yang dulunya terbentang seluas 4 hektar. Kang Riko membuka kisahnya dari bagian luar, di mana pandangan pertama kami langsung tertumbuk pada Watu Gilang, sebuah batu besar yang menjadi tempat penobatan para sultan—dingin, sunyi, dan penuh wibawa. Pada tahun 2018, tim dari BPK menemukan struktur ruang dan pintu di sekitar area ini. Namun yang paling mengejutkan, ketika mereka menggali lebih dalam, mereka menemukan struktur di atas struktur lama, menandakan bahwa sejarah tidak hanya membentang, tapi juga bertumpuk. Kanal-kanal tua juga mengelilingi keraton, dahulu menjadi jalur transportasi air bagi keluarga kerajaan. Kanal ini bahkan belum muncul dalam peta tahun 1600-an, namun sudah tergambar dalam peta abad ke-18. Di sisi lain, lima anak tangga tua ditemukan mengarah ke kanal—jejak kecil dari kebesaran yang perlahan terhapus.

Observasi kami berlanjut ke bagian dalam keraton, di mana sebuah gerbang berbelok menyambut kami. Bukan tanpa alasan, Kang Riko menjelaskan bahwa bentuk belok itu adalah cara para leluhur menjaga privasi: agar tamu tak bisa langsung melihat ke dalam, dan mereka harus terlebih dulu menunggu di area Sri Manganti, tempat transit di seberang kanal sebelum diterima menghadap. Reruntuhan yang kami saksikan hari itu adalah sisa dari penghancuran oleh Gubernur Jenderal Daendels, yang marah karena anak buahnya dipenggal di Surosowan. Benteng yang masih berdiri dibangun pada awal 1800-an, dan struktur bangunannya yang sekarang terlihat hanyalah bayang samar dari kemegahan yang tak bisa lagi dipetakan secara pasti. Peta dari tahun 1700-an menunjukkan ruangan-ruangan yang kini tinggal jejak. Namun yang paling menarik perhatian kami adalah saluran air yang ditemukan di bawah kamar—yang ternyata berfungsi sebagai AC alami, mendinginkan ruangan melalui proses kondensasi. Di sisi lain, terdapat Kolam Rorodenok untuk pemandian wanita dan Pancuran Mas untuk pria, bukti bahwa estetika dan kebersihan menjadi bagian penting dari istana. Hari itu, kami juga menyaksikan para arkeolog bekerja di sisi timur gerbang, menggali tanah pelan-pelan dengan teknik lot, mengupas lapisan demi lapisan bumi hingga bertemu struktur. Salah satu teman kami bertanya kepada Kang Rofi, “Kenapa bisa tertimbun sedalam ini?” Dan jawabannya datang pelan, seolah berasal dari waktu yang jauh: “Karena geologi dan sejarah saling bersilang… salah satunya, karena letusan besar Gunung Krakatau.” Maka kami pun diam sejenak, membayangkan suara yang menggetarkan tanah ratusan tahun lalu, menyapu bukan hanya batu, tapi juga ingatan.

DESTINASI WISATA DI TITIK AKHIR/HILIR CIBANTEN

  1. Pantai Gope terletak di Karangantu, Kota Serang, Banten.

Pantai gope adalah sebuah pantai dan kawasan wisata di Karangantu, Kota Serang, Banten. Pantai ini menawarkan tempat wisata yang dinaungi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan terkenal dengan dermaga tempat menikmati pemandangan matahari terbenam, dengan biaya masuk gratis namun pengunjung hanya perlu membayar biaya parkir yang terjangkau. Didekat Pantai juga terdapat wisata taman mangrove Pantai Gope terletak di Karangantu, Kota Serang, Banten.

  1. Benteng spelwijk adalah benteng peninggalan kolonial Belanda yang dibangun pada abad ke-17 di Kota Serang, Banten. Nama benteng ini diambil dari nama Gubernur Jenderal VOC, Cornelis Janszoon Speelman. Pembangunan benteng ini menjadi simbol dominasi Belanda dan dimulainya monopoli perdagangan di Kesultanan Banten.

Benteng Speelwijk berlokasi di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten. Letaknya berada di kawasan Banten Lama dan berdekatan dengan situs-situs bersejarah lainnya, seperti Masjid Agung Banten, Keraton Surosowan, dan Vihara Avalokitesvara.

Masjid Agung Banten adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang penuh dengan nilai sejarah. Berlokasi di Serang, masjid ini merupakan peninggalan Kerajaan Banten dan menjadi salah satu tujuan wisata religi yang ramai dikunjungi peziarah. Masjid ini dibangun antara tahun 1552 dan 1570 oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putra pertama Sunan Gunung Jati sekaligus sultan pertama Kesultanan Banten. lokasinya terletak di wilayah Banten Lama.